Pengertian Perjanjian Roem Royen
Perjanjian
Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian
antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan
akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van
Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah
mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada
tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung
Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari
Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta, di mana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan
“Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Keberhasilan
membawa permasalahan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda ke meja
perundingan merupakan inisiatif komisi PBB untuk Indonesia. Perundingan Roem
Royen, pihak Republik Indonesia memiliki pendirian mengembalikan pemerintahan
Republik Indonesia ke Yogyakarta merupakan kunci sebuah perundingan
selanjutnya.
Latar Belakang
Perjanjian Roem Royen
Diadakannya
Perjanjian Roem Royen karena adanya serangan tentara Belanda ke Yogyakarta dan
adanya penahanan pemimpin RI, serta mendapatkan kecamanan dari dunia
Internasional.
Dalam
Agresi Militer II, Belanda mempropaganda TNI telah hancur, disini Belanda
mendapat kecaman di dunia Internasional terutama Amerika Serikat.
Perjanjian
Roem Royen diselenggarakan mulai dari 14 April sampai 7 mei 1948, pihak
Indonesia di wakili oleh Moh. Roem beberpa anggota seperti Ali Sastro Amijoyo,
Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Untuk
pihak Belanda di wakili oleh Dr.J.H. Van Royen dengan anggotanya seperti Blom,
Jacob, dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.
Dengan
adanya Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan Belanda mendapat kecaman dan
reaksi dari Amerika Serikat dan Inggris, serta Dewan PBB. Melihat reaksi mliter
Belanda sehingga PBB membuat kewenangan KTN.
Sejak
itu KTN berubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia). UNCI
sendiri dipimpin oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat dan juga dibantu
Critchley Australia dan juga Harremans dari Belgia. Pada
tanggal 23 Maret 1949 pihak DK-PBB perintahkan UNCI agar membantu perundingan
antara pihak Republik Indonesia dengan Belanda. Pada
tanggal 17 April 1949 perundingan Roem Royen dimulai dan bertempat di Jakarta.
UNCI sebagai penengah dan diketuai oleh Merle Cochran dari Amerika Serikat
wakil UNCI.
Perundingan
berikutnya Indonesia diperkuat dengan hadirnya Drs Moh Hatta dan juga Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Pada
tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Perjanjian Roem Royen mulai
ditandatangani dan nama perjanjian ini diambil dari kedua pemimpin delegasi,
Mohammad Roem dan Herman van Royen. Perjanjian
yang sangat alot sehingga perlunya diperkuat oleh Drs Moh Hatta yang datang
dari pengasingan di Bangka, serta Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. Kedatangan
Sri Sultan HB IX untuk mempertegas pemerintahan Republik Indonesia di
Yogyakarta.
Harapan
yang diinginkan oleh bangsa Indonesia setelah penandatanganan Perjanjian
Renville akan terjadi suasana baru bagi pihak yang bertikai, supaya
pembicaraan-pembicaraan atas perbedaan-perbedaan politik antara kedua belah
pihak dapat dilanjutkan kembali. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya,
karena Belanda segera melanggar perjanjian yang telah ditandatanganinya, yaitu
dengan mendirikan negara-negara bagian didalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Seperti dikatakan oleh Ide Anak Agung Gede Agung bahwa:
“Konferensi Jawa Barat
yang menghasilkan keputusan bagi pembentukan Negara Pasundan pada tanggal 27 Februari
1948 dan pemilihan R.A.A.Wiranatakusuma sebagai wali negara (kepala negara
bagian) pada tanggal 6 Maret 1948 serta pembentukan Negara Madura tanggal 15
Maret 1948”(1983:81)
Tindakan
Belanda tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap Perjanjian Renville,
sehingga RI mengajukan protes kepada Dewan Keamanan PBB, sehingga pada tanggal
28 Februari 1948 DK PBB memohon kepada Komisi Jasa-Jasa Baik untuk
memperhatikan perkembangan-perkembangan politik di Jawa Barat dan Madura dan
secara teratur memberikan laporan kepada Dewan Keamanan mengenai hal tersesbut.
Sementara
itu Belanda menuduh Republik Indonesia melanggar asas-asas Renville, karena
menurut Belanda RI terus memperluas hubungannya dengan luar negeri. Kedua belah
pihak saling melempar tanggung jawab atas sering terjadinya
pertempuran-pertempuran di sepanjang garis demarkasi Van Mook.
Untuk
mengatasi jalan buntu tersebut, maka wakil-wakil Amerika Serikat dan Australia
berusaha mencarikan kompromi yang realistis, yang kemudian disebut “Du Bois
Critchy Plan” yang kemudian menyerahkan kepada pihak RI dan Belanda secara
rahasia pada tanggal 10 Januari 1948, yang isi pokoknya sebagai berikut:
- “Rakyat Indonesia dan segala administrasi pemerintahan akan memilih satu atau lebih pemilih sesuai dengan pebandingan jumlah penduduk. Pemilih yang terpilih akan memilih utusan ke Majelis pembentukan UUD yang sekaligus akan menjadi DPR Sementara juga”.
- Atas dasar geografi, ethnologi, sejarah, tradisi dan perasaan kebangsaan akan mencerminkan negara-negara bagian daripada NIS.
- Akan memilih presiden yang akan mengangkat perdana menteri yang selanjutnya akan membentuk Kabinet yang bertanggung jawab kepada DPR Sementara.
- Mempunyai kekuasaan penuh atas pemerintahan sendiri termasuk pengawasan akan militer.
Komisaris
Tinggi Belanda akan memiliki hak veto yang mempunyai wewenang untuk menyatakan keadaan
bahaya (perang) melampaui kekuasaan pemerintah sementara, dan dalam keadaan demikian
ia mempunyai kekuatan atas militer.
Dewan
pembentuk UUD sebagai DPR Sementara bersama wakil kerajaan Belanda akan menyusun
kerangka dasar pembentukan (status) UNI Indonesia-Belanda yang akan menyelenggarakan
bersama urusan ekonomi, kebudayaan dan kepentingan militer masing-masing dan
segala kerjasama untuk menyelenggarakan kepentingan bersama. Dewan pembentuk
UUD buat NIS. Bila rencana UUD dan statut UNI telah disahkan, Belanda akan menyerahkan
kedaulatan pada NIS (Moedjanto,1988:26)
Pada
prinsipnya RI menerima rencana Du Bois Critchly Plan, tetapi Belanda menolaknya
serta menuduh pihak Australia dan Amerika Serikat bertindak melampaui
wewenangnya. Penolakan Belanda atas rencana Du Bois Critchly Plan membawanya
keposisi yang menyulitkannya sendiri.
Dengan
penolakan Belanda tersebut, maka perundingan mengalami kemacetan lagi.
Selanjutnya KTN dalam bulan September mengusahakan agar perundingan antara RI
dengan Belanda dapat dilanjutkan kembali. Selanjutnya wakil Amerika Serikat
yang baru dalam KTN Marle Cochran mengajukan rencana Cochran yang didasarkan
atas rencana Du Bois yang diubah dengan memberikan sejumlah konsesi kepada
Belanda. Akan tetapi kedua belah pihak tidak setuju dengan rencana Cochran, dengan
demikian rencana Cochran mengalami kegagalan.
Berhubungan
dengan adanya jalan buntu dihadapi oleh kedua belah pihak dalam perundingan-perundingan
untuk mencari penyelesaian sengketa, maka Belanda memutuskan untuk melancarkan
Agresi Militer yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948, sebagaimana telah disinggung
pada pembahasan sebelumnya. Agresi militer Belanda kedua berhasil menduduki Ibu
kota RI Yogyakarta dan menangkap Presiden Soekarno, wakil Presiden Moh.Hatta
dan sejumlah pejabat tinggi negara. Namun demikian sebelumnya kabinet sempat
mengadakan sidang, dalam sidang kabinet tersebut berhasil diputuskan untuk
memberikan mandat ke pada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang berada di Sumatra
agar berusaha membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.
Reaksi
dunia atas agresi Belanda tersebut luar biasa, dunia umumnya mengutuk serangan
Belanda karena Belanda berani melanggar suatu persetujuan gencatan senjata yang
disponsori oleh PBB melalui KTN. Kemudian pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang antara lain berisi:
- Mendesak Belanda untuk segera dan sunguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya menghentikan aksi gerilya mereka.
- Mendesak Belanda untuk membebaskan tanpa syarat presiden dan wakil presiden serta tawanan politik lainnya yang ditahan sejak tanggal 17 Desember 1948 di wilayah RI dan mengembalikan pemerintahan RI ke Yogyakarta.
- Menganjurkan agar RI dengan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan usul-usul Cochran, dalam perundingan tersebut supaya disusun rencana pembentukan pemerintahan Federal Sementara pada tanggal 15 Maret 1949, yang diberi hak menyelenggarakan urusan intern, pemilihan Majelis Konsituante paling lambat 1 Oktober 1949, dan penyerahan kedaulatan atas Indonesia kepada NIS paling lambat 1 Juni 1949.
- KTN diubah menjadi UNCI (United Nation Commission for Indonesia) dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas. UNCI diberi kuasa untuk memberi rekomendasi kepada Dewan Keamanan dan pihak-pihak yang bersengketa, membantu mereka mengambil keputusan dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan.
Belanda
tidak mau menerima resolusi DK tersebut karena Belanda masih tetap yakin bahwa
RI hanya tinggal namanya saja. Sementara itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX lewat
radio dapat menangkap berita, bahwa DK PBB akan mengadakan sidang lagi dalam
bulan Maret untuk membahas masalah Indonesia. Oleh karena itu Sri Sultan Hamengkubuwono
bersama pimpinan militer RI berusaha berbuat sesuatu untuk mempengaruhi
jalannya sidang DK PBB dan meyakinkan dunia Internasional bahwa RI pada tanggal
1 Maret 1949. TNI melancarkan serangan umum dan berhasil menduduki Ibu kota
Yogyakarta selama 6 jam. Berita serangan umum itu kemudian disiarkan oleh RRI
ke Rangon dan India, dengan demikian propoganda Belanda yang mengatakan bahwa RI
tinggal nama tidak dapat dipercaya lagi. Dan serangan umum tersebut dapat
mempengaruhi pandangan dunia umumnya dan sidang DK pada khususnya.
Proses Pelaksanaan Perjanjian
Roem-Royen
Atas desakan amerika serikat, akhirnya pada tanggal 14
april 1949. Perundingan dapat dibuka kembali, delegasi indonesia dipimpin oleh
muhammad Roem, sedangkan delegasi belanda dipimpin oleh van roijen, yang
merupakan Perundingan pendahuluan sebelum diadakan perundingan puncak,
perundingan Tersebut diketuai oleh cochran. Yang kemudian menyampaikan pidato
tentang Tujuan perundingan dan tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam
perundingan ini.
Mohammad Roem dan Van Roijen
Selanjutnya ketua delegasi belanda van roijen
menyampaikan pidato, dalam pidatonya antara lain dikatakan bahwa:
- Pemerintah Belanda telah menerima undangan untuk konferensi persiapan ini tanpa syarat.
- Pemerintah Belanda bersedia menempatkan soal kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta sebagai pasal yang akan dibicarakan dengan syarat bahwa hasil-hasil perundingan ini hanya akan mengikat seandainya tercapai kata sepakat mengenai kedua pokok acara, yakni soal penghentian permusuhan dan pemulihan ketertiban dan ketentraman, serta syarat-syarat dan tanggal untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
- Usul Belanda mengenai penyerahan kedaulatan yang dipercepat, Van Roijen mengatakan bahwa ini akan bersifat tanpa syarat, nyata dan lengkap, sedang Uni Indonesia-Belanda tak akan menjadi super state melainkan hanya merupakan suatu bentuk kerjasama antara negara-negara yang berdaulat, Indonesia dan Belanda atas dasar persamaan dan kesukarelaan sepenuhnya (Agung, 1983).
Selanjutnya ketua delegasi Indonesia Mohammad Roem
menyampaikan pidato tentang
pandangannya sebagai berikut:
- Pemerintah RI dengan menyesal harus menyatakan bahwa aksi militer Belanda yang kedua telah menggoyahkan kepercayaan pada itikad baik pemerintah Belanda, reaksi negatif ini tidak saja terlihat di dalam RI seperti ternyata telah diletakkan jabatan oleh pemerintah Indonesia Timur dan pemerintah Pasundan serta dari resolusi badan-badan yang menyalahkan tindak tanduk militer itu, dan resolusi dari luar negeri, yakni konferensi New Delhi yang dihadiri oleh negara-negara Asia Selatan dan Tenggara
- Pemerintah Republik tidak berpendapat bahwa pokok-pokok yang disebut instruksi Dewan Keamanan tanggal 23 Maret sebagai pokok-pokok untuk dibicarakan konferensi ini, merupakan satu kesatuan utuh. Harus dibicarakan terlebih dahulu tentang kembalinya pemerintahan Republik ke Yogyakarta setelah tercapai kata sepakat tentang hal ini, maka mudahlah untuk membicarakan pokok-pokok hal yang lain unruk suatu pemecahan menyeluruh. Keputusan-keputusan hakiki kemudian akan diambil oleh pemerintah Republik di Yogya. sepakat tentang persoalan kembalinya pemerintah Republik. Jalan akan terbuka untuk mengadakan perundinganperundingan mendasar dan kepercayaan yang tergoyah akan dipulihkan (Ide Anak Gede Agung, 1983:270)
Pada tanggal 16
April, dimulailah pembicaraan antara kedua delegasi yang berlangsung hingga 7 Mei
1949. Perundingan tersebut berhasil mencapai persetujuan yang kemudian dikenal dengan perjanjian
Roem-Roijen.
Perjanjian Roem-Roijen
bukan merupakan suatu perjanjian yang sifatnya satu,
akan tetapi merupakan suatu perjanjian yang terdiri dari dua keterangan yang berbeda. Pernyataan ini masing-masing disampaikan oleh
kedua delegasi Indonesia dan Belanda.
Mohammad Roem, sebagai
ketua delegasi Indonesia kemudian mengemukakan
peryataan yang berbunyi sebagai berikut: Sebagai ketua delegasi RI saya diberi kuasa oleh Presiden Soekarno dan wakil
Presiden Moh.Hatta untuk menyatakan kesanggupan
mereka pribadi sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949
dan petunjuk-petunjuknya tanggal 23 Maret 1949
untuk memudahkan tercapainya:
- Pengeluaran perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
- Bekerjasama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
- Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tiada bersyarat (Roem, 1989)
Sementara itu, ketua delegasi
Belanda, Van Roijen menyampaikan pendapat
sebagai berikut:
- Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta, dan dibawah pengawasan UNCI akan menghentikan perang gerilya disamping bersedia menjaga perdamaian dan ketertiban serta keamanan.
- Pemerintah RI bebas menjalankan tugasnya dalam residensi Yogyakarta.
- Pihak Belanda akan menghentikan segala operasi militer dan akan melepaskan semua tahanan politik sejak 17 Desember 1948
- Belanda tidak akan mendirikan daerah dan negara baru di daerah RI sebelum 19 Desember 1948.
- Belanda akan menyokong RI masuk Indonesia Serikat dan mempunyai sepertiga anggota dari segenap anggota Dewan Perwakilan Federal.
- Belanda menyetujui, bahwa semua areal diluar residensi Yogya, dimana pegawai-pegawai Republik masih bertugas tetapi menjalankan tugasnya (Marwati Djonaedi, 1984:170)
Kedua pernyataan tersebut
diatas merupakan pokok-pokok perjanjian Roem-Roijen, yang sekaligus merupakan dasar menuju
KMB, dan peristiwa yang sangat menentukan bagi
RI. Karena dengan dicapainya persetujuan tersebut maka pemerintah RI akan dikembalikan dan dipulihkan ke
Yogyakarta. Pernyataan Roem-Roijen juga merupakan suatu kemajuan yang akan
membawa kedalam perundingan-perundingan
selanjutnya.
Dengan tercapainya
kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih
pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Sementara itu, pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut
hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan
seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Untuk mempertegas
amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan
agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk
kepentingan politik atau kepentingan militer. Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan,
karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia.
Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg
(BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh
Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai
berikut:
- Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
- Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
- Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Perjanjian Roem-Roijen
yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1949, mulai dilaksanakan
pada tanggal 6 Juli 1949, yang ditandai dengan kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta. Yaitu bersamaan dengan
kembalinya Presiden Soekarno dan Moh. Hatta pada hari tersebut. Yang kemudian
disusul dengan pengembalian mandat dari Mr. Syafruddin Prawiranegara kepada
Presiden Soekarno
pada tanggal 13 Juli 1949, maka dengan demikian akan semakin dekat menuju pengakuan kedaulatan.
Isi Perjanjian Roem
Royen
Isi
Perjanjian Roem Royen di Hotel Des Indes di Jakarta, antara lain:
- Tentara bersenjata Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya
- Pemerintah Republik Indonesia turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
- Kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta
- Tentara bersenjata Belanda harus mengehentikan operasi militer dan pembebasan semua tahanan politik.
- Kedaulatan RI diserahkan secara utuh tanpa syarat.
- Dengan menyetujui adanya Republik Indonesia yang bagian dari Negara Indonesia Serikat.
- Belanda memberikan hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada pihak Indonesia.
Pasca Perjanjian Roem Royen
Setelah
tercapainya perundingan Roem Royen, pada tanggal 1 Juli 1949 pemerintah Republik
Indonesia secara resmi kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan
kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima Besar
Jenderal Sudirman tiba kembali di Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949. Setelah
pemerintahan Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli
1949 diselenggarakan siding cabinet. Dalam siding tersebut Syafruddin
Prawiranegara mengembalikan mandate kepada wakil presiden Moh Hatta. Dalam
siding tersebut juga diputuskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi
menteri pertahanan merangkap koordinator keamanan.
Pada 6
Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota
sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan
perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948
menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri
keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3
Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11
Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan
tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.
Dampak Perjanjian Roem Royen
Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari
tangan Belanda. Sementara itu, pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut
hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan
seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah
perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer. Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan, karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut.
- Pengembalian
pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada
tanggal 4 Juni 1949.
- Perintah
penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik
Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
- Konferensi
Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag.
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Roem-Roijen
http://jagosejarah.blogspot.co.id/2014/09/perjanjian-roem-royen.html
http://urusandunia.com/perjanjian-roem-royen/
https://elearning.unsri.ac.id/pluginfile.php/61451/mod_resource/content/1/BAB%2012%20ROEM-ROYEN.pdf