Sepotong Kue
untuk Kakak
Cerpen Karangan: Ayu Bintang R. P.
Munculnya
sang fajar selalu menemani langkahku setiap pagi, termasuk langkah pagi ini.
Serasa pagiku ini kujalankan penuh semangat. Semangat karena aku akan
mendapatkan banyak pengetahuan dan wawasan baru dan juga semangat untuk mengais
rizki dari kue-kue yang akan kujajakan saat istirahat sekolah nanti. Aku memang
anak miskin yang harus berjuang melawan kerasnya hidup hanya bersama ibuku.
Hidupku terasa lebih sulit saat dua tahun ini, saat dimana ibuku sakit-sakitan
dan tidak bisa bekerja berat lagi. Hatiku juga terasa gundah saat teringat ayah
dan kakakku. Dimana mereka sekarang? Ayah telah meninggalkan ibu dan aku saat
aku masih berumur satu bulan. Ia juga membawa serta kakakku untuk mencari
kehidupan yang lebih baik di negara tetangga.
“Untuk
apa hidup di negeri ini? Hanya untuk menuakan diri? Kemana-mana harus berjalan
kaki, rumah selalu gelap gulita, kerja susah tapi penghasilan rendah, kalau
sakit ingin berobat saja harus pergi ke kota. Aku bosan.” Itulah kata-kata
terakhir ayah yang diingat ibuku. Ibuku memang wanita yang sangat cinta akan
tanah air ini. Terasa berat baginya untuk meninggalkan negeri ini. Ibu juga
mengajarkanku untuk selalu kerja keras dan tidak lupa pada yang di atas.
Karena
hari ini libur, aku berniat menjajakan kue-kue ini di pasar dekat terminal
kota. Ternyata berjualan disini cukup menguntungkan karena banyak orang yang
membeli. Termasuk kakak ini. “Kakak orang mana?”, tanyaku sambil membungkuskan
sepotong kue yang dibelinya. “Saya orang Malaysia dek, tapi sebenarnya saya
orang sini.” “Lantas tujuan kakak datang ke sini apa?”, tanyaku dengan rasa
penasaran. “Saya punya dua tujuan dek kesini, yang pertama saya ini seorang
dokter yang sedang menjadi relawan untuk tsunami di Aceh dek, sebentar dek.”
Kakak itu memandang bus-bus yang sedang berlalu-lalang. Tiba-tiba kakak itu
berlari menuju bus jurusan kota Banda Aceh tanpa mengambil kue yang telah ia
bayar. Aku juga tak kuat mengejar kakak itu. “Ya sudahlah, akan kukasih kuenya
kalau ketemu lagi.” Aku pun pulang ke rumah karena hari sudah sore.
Sebulan
kemudian saat aku berjualan di tempat yang sama, aku melihat kakak itu lagi.
Aku segera menghampiri kakak itu. “Kak ini kue, dulu kakak pernah beli tapi
kuenya belum diambil.” “Ini kue yang dulu?”, canda kakak itu. “Ya tidaklah
kak.” “Adek tau dimana daerah Karangbaru?” “Tau kak, saya juga tinggal disitu.
Mari saya antar, saya juga ingin pulang.”
Sesampainya
di rumah, saya mengenalkan kakak itu kepada ibu. Sebenarya saya juga belum tau
nama kakak itu siapa. “Perkenalkan ibu, adek. Nama saya Zulfi.” Nama yang
mengingatkan ibu pada kakakku. “Lantas adek dari mana?”, tanya ibu. “Saya dari
Malaysia, saya pindah ke Indonesia untuk menjadi dokter relawan dan mencari
keluarga saya. Kata ayah saya keluarga saya ada di karangbaru. Sayangnya saya
tidak dapat ke sini dengan ayah karena ia telah tiada.” “Siapa nama ayahmu
nak?”, tanya ibu kembali. “Bapak Iskandar.” Jawaban kakak itu membuat ibu
menangis terharu. “Kau berada di tempat yang tepat nak, akulah ibumu dan ini
adikmu.” Tak kusangka diriku yang hanya seorang penjual gorengan ini punya
kakak seorang dokter. Akhirnya, kami kembali berkumpul bersama, walau tanpa
kehadiran ayah.